Rabu, 22 April 2009

LINGKUNGAN BERBAHASA (BI'AH LUGHAWIYYAH)

PENCIPTAAN LINGKUNGAN BERBAHASA (BÎ’AH LUGHAWIYYAH) ‎DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
Oleh : Muktafi (NIM : 06.2.00.1.13.08.0047)‎
A.‎ Pendahuluan
Pola pikir sentralistik, monolitik, dan uniformistik mewarnai ‎pengemasan dunia pendidikan kita. Keputusan selalu dilaksanakan ‎berdasarkan hierarkhi-birokrasi. Kita lupa bahwa indikator keberhasilan ‎pendidikan adalah bahwa anak didik kita sejahtera. Anak didik kita sejahtera ‎jika aktivitas belajar menyenangkan dan menggairahkan. Ada kecenderungan ‎dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa ‎anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar ‎akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dialaminya, ‎bukan “mengetahui” -nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan ‎materi terbukti berhasil dari kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi ‎gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka ‎panjang, pendekatan kontekstual (contextual teaching abd learning/CTL) ‎adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi ‎harapan itu.‎
Nurhadi, dkk. (2004)‎ ‎ menyebutkan 7 prinsip penerapan pembelajaran ‎Kontekstual , yaitu : 1). Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran ‎perkembangan mental siswa (developmentally appropriate), 2). Membentuk ‎kelompok belajar yang saling tergantung (dependent learning group), 3). ‎Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self ‎regulated learning), 4). Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of ‎student), 5). Memperhatikan multi-intelegensi siswa (multple intelligences), 6). ‎Menggunakan teknik-teknik bertanya (Questioning), dan 7). Menerapkan ‎penilaian autentik (authentic assessment) ‎
Perkembangan kemampuan berbahasa seseorang dipengaruhi antara ‎lain oleh lingkungan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa anak yang tinggal ‎di lingkungan ekonomi yang mapan akan lebih cepat, lebih teliti dan lebih ‎kuat berbahasa dibandingkan dengan mereka yang tumbuh di lingkungan ‎sosial ekonomi rendah.‎ ‎ Arti pentingnya lingkungan berbahasa dalam ‎pembentukan kemampuan berbahasa ini telah disadari oleh bangsa Arab sejak ‎dulu, sehingga mereka mengirim anak-anak mereka ke bâdiyah ‎ ‎ untuk ‎memperoleh bahasa yang baik, meskipun orang tua mereka sendiri juga ‎berbicara dengan bahasa Arab.‎ ‎ ‎
Abdul Wahid Wafi menyatakan bahwa bahasa bukanlah produk ‎individu secara personal, melainkan produk social secara komunal, dimana ‎setiap individu tumbuh dan menyerap aturan kebahasaan dalam komunitasnya ‎dengan cara belajar (ta’allum) atau meniru (muhâkah).‎ ‎ Oleh karena hal inilah ‎penciptaan lingkungan berbahasa yang baik dan benar akan sangat ‎berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa seseorang. ‎
Memperkuat pendapat ini, Abdul Chaer menyatakan bahwa ‎keberhasilan belajar, termasuk didalamnya belajar bahasa, disamping ‎ditentukan oleh sejumlah variabel yakni 1) murid, 2) guru, 3) bahan pelajaran ‎dan 4) tujuan pengajaran, ia juga dipengaruhi oleh lingkungan belajar yang ‎baik. Murid yang berasal dari lingkungan keluarga yang baik, belajar di ‎lingkungan sekolah yang baik, guru yang bertanggung jawab akan memberi ‎hasil yang lebih baik daripada lingkungan sekolah yang kurang baik.‎
Bahasa diperoleh manusia melalui dua cara yaitu 1) akuisisi bahasa ‎‎(iktisâb al lughah/language acquisition) yaitu yang biasa terjadi pada anak-‎anak ketika memperoleh kemampuan berbahasa pertamanya atau bahasa ibu ‎dari lingkungannya. Kemampuan ini diperolehnya secara bawah sadar dengan ‎cara berkomunikasi langsung dengan orang-orang yang menggunakan bahasa ‎tersebut, 2) pembelajaran bahasa (language learning/ta’allum al lughah) yaitu ‎kemampuan berbahasa yang diperoleh dari proses-proses yang terjadi pada ‎waktu seseorang mempelajari bahasa kedua yang dilakukannya dengan sadar, ‎setelah ia memperoleh bahasa pertamanya.‎ ‎ Krashen (1976) dalam Fu’ad ‎Efendi, menyatakan bahwa semua wacana bahasa yang kita peroleh adalah ‎hasil dari akuisisi. Adapun sistem bahasa yang kita kuasai melalui belajar akan ‎berfungsi sebagai “monitor” yang dalam keadaan tertentu akan mengoreksi, ‎menyunting dan memperbaiki apa yang kita miliki dari akuisisi.‎ ‎ ‎
Dengan demikian, bî’ah lughawiyyah ada dua macam, yaitu ‎ligkungan formal, yakni yang ada dalam situasi belajar bahasa, dan lingkungan ‎informal, yakni yang ada dalam situasi pemerolehan bahasa. Kedua bi’ah ‎lughawiyah ini mempunyai andil yang berbeda dalam mempengaruhi ‎kemampuan berbahasa. Lingkungan informal memberikan masukan bagi ‎perolehan bahasa, sedangkan lingkungan formal menyediakan perangkat ‎untuk monitor apa yang telah diperoleh.‎
Teori diatas dapat menjelaskan fenomena mengapa pesantren yang ‎memberi kesempatan kepada santrinya untuk terlibat langsung menggunakan ‎bahasa Arab, cenderung lebih lancar berbicara daripada santri yang hanya ‎berkonsentrasi pada pendalaman nahwu-sharf di dalam kelas.‎
Proses belajar, dimaknai sebagai perubahan sikap dan tingkah laku ‎seseorang yang diperoleh akibat interaksinya dengan lingkungannya dalam ‎berbagai jenis sumber baik orang (people) atau bukan orang (message). Ini ‎berarti bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, walaupun tugas, ‎peran dan fungsinya sangat penting. Pembelajar dapat memperoleh ‎pengetahuan dari lingkungan yang telah di-setting sebagai sumber belajar. ‎Misalnya dari bahan-bahan yang telah disiapkan atau dari lingkungan kelas, ‎kantor sekolah, perpustakaan, laboratorium, asrama, halaman sekolah dan lain-‎lain.‎ ‎ Teori belajar seperti ini mengarahkan bentuk pembelajaran yang terpusat ‎pada siswa atau yang dikenal dengan student centered.‎
Uraian diatas menjelaskan kepada kita arti pentingnya pembentukan ‎bî’ah lughawiyah dan peranan media dalam meningkatkan kemampuan ‎berbahasa pembelajar. Dalam makalah ini akan diuraikan beberapa hal yaitu 1) ‎bagaimana lingkungan berbahasa itu harus dibuat, 2) media apa saja yang ‎dapat dimanfaatkan untuk membentuk lingkungan berbahasa yang baik.‎
B.‎ Konsep Lingkungan Bahasa
Lingkungan bahasa adalah segala sesuatu yang didengar dan dilihat ‎oleh pembelajar berkaitan dengan bahasa target yang sedang dipelajari.‎ ‎ ‎Sebagaimana yang diusulkan oleh Krashen, ada dua jenis lingkungan ‎berbahasa yaitu lingkungan formal dan lingkungan informal.‎ ‎ ‎
Lingkungan formal, mencakup berbagai aspek pendidikan formal dan ‎non formal, dan sebagian besar berada dalam kelas atau laboratorium. ‎Lingkungan formal ini dapat memberikan masukan kepada pembelajar berupa ‎pemerolehan wacana bahasa (keterampilan berbahasa) ataupun sistem bahasa ‎‎(pengetahuan unsur-unsur bahasa), tergantung kepada bagaimana tipe ‎pembelajaran atau metode yang digunakan oleh guru. Namun secara umum ‎terdapat kecenderungan bahwa lingkungan formal memberikan pengetahuan ‎tentang sistem bahasa lebih banyak dibandingkan wacana bahasa.‎
Adapun lingkungan informal, ia memberi perolehan wacana bahasa ‎secara alamiah dan sebagian besar terjadi di luar kelas. Bentuk perolehan ‎wacana ini bisa berupa bahasa yang digunakan oleh guru, siswa, kepala ‎sekolah, karyawan dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan sekolah serta ‎lingkungan alam atau buatan yang berada di sekitar sekolah. ‎
Dari keterangan diatas yang penting bagi kita adalah, bagaimana ‎memberdayakan kedua bî’ah lughawiyah tersebut dalam upaya mendukung ‎tercapainya kompetensi berbahasa oleh para pembelajar. Artinya semua pihak ‎yang terkait dengan kedua lingkungan tersebut harus memahami peran dan ‎fungsinya masing-masing.‎
C.‎ Lingkungan sebagai Subsistem Pembelajaran ‎
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan ‎keberhasilan proses pembelajaran adalah lingkungan (environment, bî’ah), tak ‎terkecuali lingkungan berbahasa. Keberadaan lingkungan berbahasa Arab ‎menjadi sangat penting karena ia selalu hadir, melingkupi, memberi nuansa ‎dan konteks pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Jika lingkungan tempat ‎pembelajaran bahasa Arab itu kondusif, niscaya proses pembelajaran juga ‎berlangsung kondusif. Sedemikian pentingnya lingkungan pembelajaran itu, ‎sehingga Nabi Muhammad saw. mengillustrasikan bahwa lingkungan keluarga ‎itu dapat merubah keyakinan dan agama seorang anak yang dibesarkan dalam ‎lingkungan itu. Sabda Nabi saw.: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan ‎fitrah. Kedua orang tuanyalah (lingkungan keluarga) yang kemudian ‎menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” (HR ‎Muslim).‎
Menurut hasil penelitian Ahmad ibn Abd al-Rahmân al-Sâmirra'î, tingkat ‎pencapaian pengetahuan melalui indera penglihatan mencapai 75%, sementara ‎melalui indera pendengaran hanya 13%. Sedangkan melalui indera lain, seperti ‎pengecapan, sentuhan, penciuman, pengetahuan hanya dapat diperoleh ‎sebesar 12%. Lingkungan pembelajaran yang dilengkapi dengan gambar-‎gambar memberikan dampak 3 (tiga) kali lebih kuat dan mendalam daripada ‎kata-kata (ceramah). Sementara jika gambar dan kata-kata dipadukan, maka ‎dampaknya enam kali lebih kuat daripada kata-kata saja.‎ ‎ Karena itu, ‎lingkungan pendidikan yang berbahasa Arab diyakini memainkan peran ‎penting dalam menunjang efektivitas pembelajaran bahasa Arab di lembaga ‎pendidikan. Lingkungan berbahasa Arab tidak hanya dapat menjadi sumber ‎dan motivasi belajar, melainkan juga menjadi aset dan kebanggaan lembaga ‎pendidikan itu sendiri dalam menunjukkan citra positif dan keunggulan ‎kualitasnya. ‎
Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa terdapat ‎hubungan yang signifikan ('alâqah dâllah) antara lingkungan bahasa dan ‎kemampuan berbahasa kedua. Carol, Upshur, dan Mason meneliti sejumlah ‎mahasiswa asing di Amerika Serikat yang mengikuti kuliah tambahan bahasa ‎Inggris dan yang tidak mengikuti kuliah tambahan. Ternyata pada akhir ‎semester, kemampuan berbahasa Inggris kedua kelompok mahasiswa itu ‎hampir sama. Penelitian Krashen juga membuktikan bahwa lingkungan formal ‎dan informal mempengaruhi kemampuan berbahasa asing dalam cara yang ‎berbeda. Lingkungan informal memberikan masukan bagi pemerolehan bahasa ‎‎(iktisâb al-lughah, language acquisition), sedangkan lingkungan formal ‎memberikan masukan bagi monitor (menyunting dan memperbaiki wacana ‎kebahasaan yang telah dimiliki melalui pemerolehan). Akan tetapi, kontak ‎dengan suatu bahasa dalam lingkungan informal tidak menjamin ‎kemampuannya dalam berbahasa itu bertambah, kecuali kalau mahasiswa ‎terlibat dalam penggunaan bahasa itu. ‎
Dalam konteks itu, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penciptaaan ‎lingkungan berbahasa Arab, tentu, bukan untuk mereduksi "nasionalisme" ‎sebagai warga bangsa, melainkan menumbuhkan tradisi positif dalam belajar ‎bahasa Arab aktif. Tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tidak lain, ‎adalah: (1) untuk membiasakan dan membisakan sivitas akademika dalam ‎memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan ‎‎(muhâdatsah), diskusi (munâqasyah), seminar (nadwah), ceramah ‎‎(muhâdlarah), dan berekspresi melalui tulisan (ta'bîr tahrîrî); (2) memberikan ‎penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa Arab yang sudah dipelajari ‎dalam kelas, sehingga para mahasiswa lebih memiliki kesempatan untuk ‎mempraktikkan bahasa Arab; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas ‎berbahasa Arab yang terpadu antara teori dan praktik dalam suasana informal ‎yang santai dan menyenangkan.‎ ‎ Singkatnya, tujuan utama penciptaan ‎lingkungan berbahasa Arab adalah meningkatkan kemampuan dan ‎keterampilan mahasiswa, dosen, dan lainnya dalam berbahasa Arab secara ‎aktif, baik lisan maupun tulisan, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di ‎kampus ini menjadi lebih dinamis, efektif dan bermakna.‎
D.‎ Prasyarat dan Prinsip-prinsip Pengembangan Lingkungan Berbahasa ‎Arab ‎
Diyakini bahwa menciptakan lingkungan berbahasa Arab yang ‎kondusif tidak mudah. Karena itu, ada beberapa prasyarat yang harus ‎dipenuhi terlebih dahulu. Pertama, adanya sikap dan apresiasi positif terhadap ‎bahasa Arab dari pihak-pihak terkait, yaitu: semua civitas madrasah mulai dari ‎guru sampai karyawan . Sikap dan apresiasi positif mempunyai implikasi yang ‎besar terhadap pembinaan dan pengembangan keterampilan berbahasa. Dari ‎sikap dan apresiasi positif inilah akan tumbuh motivasi dan "rasa butuh" yang ‎tinggi. Dalam konteks ini, Douglas menjelaskan bahwa motivasi tersebut akan ‎melahirkan: (a) rasa butuh untuk menemukan sesuatu "di balik gunung", (b) ‎rasa butuh berbuat dalam lingkungan kondusif dan melakukan perubahan, (c) ‎rasa butuh untuk beraktivitas (praktik berbahasa), (d) rasa butuh untuk ‎menggerakkan orang lain agar bergiat dalam berbahasa, (e) rasa butuh untuk ‎mengetahui dan memecahkan persoalan, dan (f) rasa butuh untuk aktualisasi ‎diri dan adaptasi terhadap lingkungan berbahasa.‎ ‎ ‎
Kedua, adanya "aturan main" atau pedoman yang jelas mengenai ‎format dan model pengembangan lingkungan bahasa Arab yang dikehendaki ‎oleh madrasah. "Aturan main" ini menjadi sangat penting untuk "mengikat ‎komitmen" dan menyatukan visi dan tekad bersama untuk mengembangkan ‎lingkungan berbahasa Arab. Sedapat mungkin aturan main itu dapat ‎disosialisasikan sejak mahasiswa baru mulai menginjakkan kaki di kampus ini ‎agar mereka mempunyai sikap dan apresiasi yang positif terhadap bahasa ‎Arab. Jika dipandang perlu, dalam aturan itu juga dibentuk semacam ‎‎"mahkamah al-lughah" yang berfungsi sebagai pemantau, pengawas ‎kedisiplinan berbahasa Arab, sekaligus pemutus dan pengekskusi "hukuman-‎hukuman tertentu" bagi pelanggar kesepakatan bersama. ‎
Ketiga, adanya beberapa figur yang mampu berkomunikasi dengan ‎bahasa Arab aktif. Keberadaan dosen native speaker (nâthiq bi al-lughah al-‎‎'Arabiyyah) tampaknya harus dioptimalkan fungsi dan perannya dalam ‎mewarnai pembinaan dan pengembangan keterampilan bahasa Arab. Figur-‎figur itu merupakan penggerak utama dan tim kreatif dalam mendinamisasi ‎penciptaan lingkungan berbahasa Arab. ‎
Keempat, penyediaan alokasi dana yang memadai, baik untuk ‎pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung maupun untuk ‎memberikan "insentif" bagi para penggerak dan tim kreatif penciptaan ‎lingkungan berbahasa Arab. ‎
Adapun prinsip-prinsip penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang ‎perlu dijadikan sebagai landasan pengembangan sistem pembelajaran ‎bahasa Arab adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip keterpaduan dengan ‎visi, misi dan orientasi pem¬belajaran bahasa Arab. Penciptaan lingkungan ‎berbahasa Arab harus diletakkan dalam kerangka mendukung pencapaian ‎tujuan pembelajaran bahasa Arab dan pemenuhan suasana yang kondusif ‎bagi pendayagunaan bahasa Arab secara aktif.‎
Kedua, prinsip skala prioritas dan gradasi program. Implementasi ‎penciptaan lingkungan berbahasa Arab harus dilakukan secara bertahap ‎dengan memperhatikan skala prioritas tertentu. Misalnya, ketika warga ‎madrasah saling bertemu, diharapkan masing-masing bisa bertegu sapa: ‎dengan mengucapkan ahlan wa sahlan, shabâh al-khair, kaifa haluk, ‎mâdza tadrus al-yaum, ila al-liqâ', dsb. ‎
Ketiga, kebersamaan dan partisipasi aktif semua pihak. ‎Kebersamaan dalam berbahasa asing, secara psikologis dapat memberikan ‎nuansa yang kondusif dalam berbahasa, sehingga mahasiswa yang tidak ‎bisa berkomunikasi akan merasa malu, kemudian berusaha untuk bisa dan ‎menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara psikolinguistik, ‎lingkungan pergaulan dalam berbahasa berpengaruh cukup signifi¬kan ‎dalam pembentukan kesadaran berbahasa asing.‎
Keempat, prinsip konsistensi dan keberlanjutan. Yang paling sulit ‎dalam penciptaan lingkungan berbahasa adalah sikap konsisten (istiqâmah) ‎dari komunitas bahasa itu sendiri. Karena itu, diperlukan adanya sebuah ‎sistem yang memungkinkan satu sama saling mengontrol dan ‎membudayakan penggunaan bahasa Arab secara aktif. Boleh jadi, ‎penciptaan lingkungan dimaksud mengalami kejenuhan. Oleh sebab itu, ‎diperlukan adanya program berkelanjutan yang bersifat varitif dan kreatif ‎dalam menciptakan suasana yang kondusif.‎
Kelima, prinsip pendayagunaan teknologi dan multi-media. Di ‎antara yang dapat membuat lingkungan berbahasa Arab adalah teknologi ‎informasi dan pendayagunaan multi-media. Keberadaan TV yang dapat ‎memancarkan siaran dari Timur Tengah perlu dioptimalkan ‎penggunaannya. Dipandang perlu juga semua civitas madrasah diberikan ‎akses untuk menggunakan internet, terutama yang berbasis di negara-‎negara Arab, agar kita dapat memperoleh –dan meng-update—informasi ‎aktual mengenai bahasa Arab, dan pada gilirannya, kita dapat ‎memperkenalkan kosa kata-kosa kata baru untuk konsumsi warga civitas ‎madrasah
E.‎ Menciptakan Lingkungan Bahasa Arab Formal
Agar lingkungan formal dapat memberi masukan pemerolehan wacana ‎bahasa dan bukan sedekar sistem bahasa, maka guru dan murid harus bekerja ‎sama dalam memanfaatkan media yang ada dalam ruang kelas. Guru, ‎pertama-tama harus merancang sumber daya yang ada dalam kelas untuk ‎dijadikan media dalam memperkaya wacana siswa. Untuk itu perlu ada ‎klasifikasi dan kalkulasi sumber apa saja yang ada di dalam kelas.‎
Lazimnya, sebuah kelas terdapat benda-benda berikut: 1) papan tulis ‎dan perlengkapannya, 2) papan absensi, 3) daftar hadir, 4) jurnal guru, 5) ‎lemari buku dengan buku-buku atau majalah, 6) bendera, 7) taman kelas, 8) ‎denah kelas atau jadwal kebersihan kelas, 9) gambar-gambar peraga (termasuk ‎peta), 10) lauhat al ibtikar (papan kreasi siswa) , 11) gambar-gambar pahlawan, ‎‎12) kalender akademik dan almanac, 13) perangkat pengeras suara (ampliflaier ‎dan tape recorder), 14) perangkat komputer dan lcd proyektor (untuk kelas ‎multi media) dan lain-lain.‎
Dari daftar sumber daya yang dipaparkan diatas, kita dapat melihat ‎bahwa sebagian besar adalah bersifat visual kecuali perangkat komputer. Oleh ‎karena itu yang harus diupayakan oleh guru adalah bagaimana merancang dan ‎menjadikan sumber-sumber daya tersebut dengan mengoptimalkan ‎penggunaannya. Berikut ini, penulis usulkan beberapa hal yang dapat ‎dilakukan untuk mengoptimalkan masing-masing sumber tersebut berdasarkan ‎pengalaman penulis sendiri.‎
Untuk mengoptimalkan papan tulis sebagai media dalam membentuk ‎bi’ah lughawiyah adalah dengan selalu menuliskan tanggal, bulan dan tahun ‎pada pojok kiri atas papan tulis dengan menggunakan penaggalan hijriyah atau ‎masehi dengan bahasa Arab. Sedangkan pada bagian kanan atas selalu ‎dituliskan madah , maudhu’ dan mabhats atau halaman dari buku yang akan ‎dibahas, dan pada bagian tengah papan tulis selalu ditulis kalimat basmalah. ‎Kemudian agar keterangan tertulis pada papan tulis tidak membingungkan ‎siswa, kita dapat membagi papan tulis menjadi beberapa bagian dengan garis ‎vertical. Sebagai missal, kita dapat membagi papan menjadi tiga bagian, ‎dengan rincian bagian pertama berisi mufradat, bagian kedua berisi qawai’d, ‎bagian ketiga kita gunakan untuk latihan dan gambar-gambar penjelas. ‎Apabila memang diperlukan, penggunaan kapur atau spidol berwarna sangat ‎dianjurkan. ‎
Papan absensi siswa hendaknya selalu ditulis dengan bahasa arab atau ‎dengan menggunakan dua bahasa yaitu Arab dan lainnya, dan kalau ‎memungkinkan daftar absensi siswa ditulis dengan bahasa Arab. Akan tetapi ‎kalau tidak memungkingkan, maka hendaknya guru bahasa Arab mempunyai ‎absen khusus yang ditulis dengan bahasa Arab dan hendaknya siswalah yang ‎membaca dan melakukan panggilan absen untuk kawan-kawannya, sehingga ‎meraka akan terbiasa membaca format absensi dalam bahasa Arab.‎
Jurnal guru hendaknya juga dibuat dengan format berbahasa Arab. ‎Tetapi kalau tidak memungkinkan dilakukan untuk semua pelajaran, maka ‎guru bahasa Arab hendaknya memiliki jurnal khusus dengan format bahasa ‎Arab dan kita minta siswa untuk mengisikannya dengan arahan guru, sehingga ‎sekali lagi siswa terbiasa melihat dan mengisi blanko berbahasa Arab.‎
Lemari yang ada di dalam kelas hendaknya tidak hanya berisi buku-‎buku pelajaran atau referensi yang berbahasa Indonesia atau Inggris saja, ‎tetapi juga harus diisi dengan buku-buku, majalah, koran atau kemasan-‎kemasan barang yang berbahasa. Untuk mendapatkan koran-koran atau ‎majalah yang berbahasa Arab ini dapat dilakukan dengan berlangganan atau ‎dengan meminta dari kantor-kantor kedutaan dan atase negara-negara Arab. ‎Sumber-sumber media ini pada saat-saat tertentu dapat dijadikan sebagai ‎bahan untuk diskusi materi pelajaran bahasa Arab.‎
Kelas yang di-setting tidak seperti mobil (kelas-kelas tradisional) ‎biasanya memiliki denah tempat duduk siswa agar memudahkan guru ‎mengenali siswanya. Denah ini hendaknya juga dimanfaatkan untuk dijadikan ‎media dalam membentuk bi’ah lughawiyah yaitu dengan cara menuliskan ‎nama-nama siswa dengan huruf atau bahasa Arab, begitu pula dengan jadwal ‎petugas kebersihan kelas.‎
Adapun gambar peraga atau peta, hendaknya guru memberi tugas ‎kepada siswa untuk membuatnya sendiri dengan memberi label pada peta atau ‎gambar gambarnya dengan bahasa Arab. Gambar peraga yang dibuat ‎hendaknya gambar yang sederhana dan tidak terlalu menyertakan detail-detail ‎yang tidak perlu, agar memudahkan penjelasan apabila diperlukan.‎
Yang paling menarik adalah hendaknya di setiap kelas disediakan ‎papan (cukup setengah ukuran tripleks) yang dibingkai dan dilapisi dengan ‎gabus dan ditutup kain, yang akan berfungsi sebagai papan untuk ‎menempelkan hasil karya siswa yang bernuansa bahasa. Karya siswa ini dapat ‎berupa cerita pendek, cerita bergambar, teka teki, usulan perbaikan untuk guru ‎atau kelas, dan apa saja yang ingin ditulis atau digambar oleh siswa. ‎
Kalender akademik hendaknya juga dibuat dengan bahasa Arab, tapi ‎bila tidak memungkinkan, maka dapat dibuat dengan dua format yaitu Arab ‎dan lainnya, sedang almanak atau penanggalan dipilih penanggalan Arab. ‎penulisan kalender akademik dengan dua bahasa biasanya justru akan ‎memecah konsentrasi siswa, maka akan lebih bagus apabila hanya dengan ‎format Arab saja. Hal demikian karena siswa cenderung hanya akan membaca ‎yang berbahasa Indonesia karena lebih mudah, dengan demikian tujuan ‎diciptakannya bi’ah lughawiyah tidak tercapai.‎
Selanjutnya pada dinding kelas hendaknya juga ditempeli hasil karya ‎siswa yang bernuansa Arab seperti: tulisan kaligrafi, lukisan suasana timur ‎tengah, ornamen-ornamen Arab dan lain-lain.‎
Apabila terdapat perangkat pengeras suara dan tape recorder di dalam ‎kelas, maka harus dilengkapi dengan kaset-kaset berbahasa Arab dan kalau ‎bisa yang berisi rekaman dari native speaker, baik berupa pidato, hiwar, lagu ‎‎(nasyid) atau lainnya. Kaset-kaset yang berbahasa Arab saat ini tidak sulit ‎didapatkan karena sudah ada ditoko-toko buku atau di lembaga-lembaga ‎dakwah. Guru juga dapat mempersiapkan bahan ini dengan merekam siaran ‎radio berbahasa Arab lewat gelombang SW atau televisi parabola (kalau ada), ‎atau situs internet berbahasa Arab baik berupa berita, wawancara, film, ‎ceramah, atau apa saja, kemudian diperdegarkan dikelas dan dianalisis.‎
Apabila di dalam kelas juga terdapat seperangkat komputer dan lcd ‎proyektor, maka pembentukan bi’ah akan lebih mudah dilakukan. Saat ini ‎sudah banyak sekali program-program pengajaran bahasa Arab interaktif. ‎Kelebihan media ini juga dapat menghadirkan suasana Arab dengan mudah ‎misalnya dengan memutar film-film berbahasa Arab atau tayangan budaya ‎dan suasana alam Arab. Dan lebih menarik lagi apabila komputer ini ‎terhubung dengan jaringan internet, maka banyak yang dapat dilakukan oleh ‎guru.‎
Demikian uraian mengenai pembentukan bi’ah lughawiyah dalam ‎lingkungan formal. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ‎benda apa saja dapat dijadikan media untuk membentuk bi’ah yang baik, akan ‎tetapi peran guru, kebijakan lembaga dan kerja sama dengan siswa memiliki ‎peran yang cukup signifikan untuk membuat usaha ini gagal atau berhasil.‎
F.‎ Menciptakan Lingkungan bahasa Arab Informal
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, lingkungan informal adalah ‎lingkungan di luar kelas. Bi’ah lughawiyah Arab informal yang sebenarnya ‎adalah negeri Arab itu sendiri. Diluar negeri Arab, kita tidak bisa mendapati ‎bi’ah lughawiyah seperti itu aslinya meskipun di daerah imigran Arab atau ‎kampong Arab. Akan tetapi by design kita dapat merencanakan dan membuat ‎miniature negeri Arab (Arabic Zone) dalam lingkungan informal sejauh yang ‎dapat kita kontrol. ‎
Cakupan lingkungan ini lebih luas daripada lingkungan formal, maka ‎tentu saja tidak semua sudut-sudutnya dapat dikontrol oleh guru atau sistem ‎yang dibuat. Lingkungan informal ini juga melibatkan pihak-pihak yang lebih ‎banyak, sehingga untuk membentuknya diperlukan keterlibatan dan kesadaran ‎dari pihak-pihak tersebut. Tentu saja kepala sekolah adalah sebagai pihak yang ‎paling berperan dalam mensukseskan gerakan ini, karena ia memiliki kebijakan ‎umum tentang arah, tata kerja dan sistem yang ada dalam lingkungan sekolah.‎
Untuk itulah ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan ‎hal tersebut. Effendi mengusulkan paling tidak ada tiga hal yang harus ‎dipenuhi, yaitu: Adanya sikap positif terhadap Bahasa Arab dan komitmen ‎yang kuat untuk memajukan pengajaran bahasa Arab dari pihak-pihak terkait. ‎Pihak-pihak terkait tersebut adalah 1) kepala sekolah, 2) guru bahasa Arab itu ‎sendiri, 3) siswa, 4) dan lebih bagus lagi kalau seluruh unsur SDM sekolah ‎baik tenaga kependidikan maupun non kependidikan ikut mendukungnya. ‎Adanya figur dalam sekolah yang mampu berkomunikasi dengan bahasa ‎Arab, baik native atau bukan. Adanya alokasi dana yang memadai untuk ‎menyediakan sarana yang diperlukan.‎
G.‎ Strategi Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab
Menurut hemat penulis, untuk memudahkan dalam pembentukan bi’ah ‎lughawiyah, kita bisa membagi lingkungan sekolah menjadi beberapa space. ‎Pembagian space ini penulis dasarkan pada jenis komunitas dan jenis ‎komunikasi yang dilakukan siswa. Space-space dimaksud adalah 1) kantor, 2) ‎perpustakaan, 3), laboratorium bahasa 4) laboratorium IPA, 5) kantin sekolah, ‎‎6), masjid/mushala 7) halaman sekolah, 8) ruang work shop, 9) klinik/UKS, ‎‎10) auditorium/ruang pertemuan dan lain sebagainya. ‎
Pada uraian berikut penulis usulkan beberapa hal yang dapat dilakukan ‎untuk membentuk bi’ah lughawiyah pada space-space tersebut.‎
‎1)‎ Lingkungan Kantor
Dalam lingkungan ini semua ta’limat atau pengumuman yang ‎ditujukan kepada siswa dan guru hendaknya ditulis menggunakan bahasa ‎Arab. Ta’limat yang dimaksud adalah label “kantor”, “kepala sekolah”, “tidak ‎boleh merokok”, “loket pembayaran”, “buka”, “tutup”, “dorong pintu”, ‎‎“silahkan antri” dan lain sebagaimnya. Demikian pula dengan pengumuman, ‎tapi dengan cacatan manakala akan menyulitkan pihak yang akan menerima ‎pesan, maka dapat ditulis dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia atau ‎Inggris. ‎
Pada loket pembayaran, disisi dalam dituliskan bentuk-bentuk/contoh-‎contoh percakapan dan atau kosa kata untuk membantu petugas loket yang ‎tidak dapat berbahasa Arab agar dapat berkomunikasi dengan siswa. Begitu ‎pula pada bagian luar loket.‎
Diruang kepala sekolah, apabila kepala sekolah tidak bias ‎berkomuikasi dengan bahasa Arab, maka dapat dibantu dengan daftar ‎percakapan seputar perijinan, tanda tangan, rapat, ungkapan-ungkapan terima ‎kasih, permintaan maaf dan lain sebagaimnya. Paling tidak ia mengharuskan ‎siswanya untuk berbicara dengan bahasa Arab jika sedang menghadap.‎
Guru-guru yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab ‎diwajibkan untuk menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa percakapan di ‎kantor, dan mereka yang tidak bias berkomunikasi dengan bahasa Arab ‎dibuatkan daftar ungkapan-ungkapan yang sering dipakai sehari seperti ahlan ‎wa sahlan, ila al liqa’, ma’a al salamah, fi amanillah dan sebagaimnya. Daftar ‎tersebut di tempel di dinding kantor dan di-update secara berkala sesuai ‎dengan kebutuhan.‎
Apabila di kantor terdapat televisi, maka sebaiknya dihubungkan ‎dengan parabola sehingga dapat mengakses televisi dari dunia Arab dan ‎suaranya dapat dipancarkan keluar kantor dengan loud speaker pada jam-jam ‎istirahat sekolah.‎
‎2)‎ Lingkungan Perpustakaan
Dalam lingkungan perpustakaan media yang menonjol adalah media ‎pandang yang berupa buku-buku, majalah, gambar-gambar peraga dan lain-‎lain. Untuk menciptakan bi’ah lughawiyah dapat dimulai dengan ‎menggunakan papan-papan pengumunan dan label-label di perpustakaan ‎dengan menggunakan bahasa Arab. Dalam ruang perpustakaan dapat disetting ‎sebuah “Zawiyah ‘Arabiyah” (“pojok bahasa Arab”) yang berisi buku-buku, ‎majalah-majalah, koran-koran, gambar-gambar yang yang bernuansa Arab. ‎Dipojok ini semua siswa juga diwajibkan berkomunikasi dengan ‎menggunakan bahasa Arab. ‎
Pengadministrasian perpustakaan yang berkaitan dengan pinjam-‎meminjam buku-buku, mulai dari kartu anggota, daftar sirkulasi buku, daftar ‎pengunjung dan lain-lain hendaknya juga menggunakan format Arab. ‎
‎3)‎ Lingkungan Laboratorium Bahasa
Laboratorium bahasa dapat dipandang sebagai lingkungan formal ‎maupun informal. Ia akan bersifat formal manakala digunakan oleh guru ‎untuk menyampaikan pelajaran, dan bersifat informal ketika tidak sedang ‎digunakan sebagai ruang untuk menyampaikan pelajaran. Barangkali ‎lingkungan di luar kelas yang paling mudah dikontrol adalah laboratorium. ‎Dalam laboratorium juga tersedia media yang cukup untuk mendukung ‎penciptaan bi’ah lughawiyah. Media-media tersebut dapat berupa media ‎dengar (audio), media pandang (visual) atau gabungan keduanya (audio-‎visual). Di sini yang dituntut adalah keterampilan guru atau petugas ‎laboratorium dalam memanfaatkan benda-benda tersebut. ‎
‎4)‎ Laboratorium IPA
Laboratorium IPA juga dapat dimanfaatkan sebagai media dalam ‎pengajaran bahasa dan menciptakan bi’ah, meskipun ia tidak secara spesifik ‎menggambarkan suasana Arab. Akan tetapi yang perlu diingat adalah bahwa ‎suasana laboratorium IPA disemua Negara adalah relative sama, yang ‎membedakan barangkali hanya kelengkapan peralatannya. Adapun mengenai ‎prosedur dan suasana umumnya tidak jauh berbeda. Dengan demikian ia ‎dapat digunakan sebagai penunjang penciptaan suasana bahasa, misalnya ‎dengan menggunakan peralatan yang ada sebagai pengenalan organ-organ ‎tubuh manusia, atau berbagai macam larutan-larutan kimia dan sebagainya.‎

‎5)‎ Kantin Sekolah
‎ Salah satu tempat yang disukai siswa untuk berkumpul-kumpul di ‎luar kelas adalah kantin sekolah. Oleh karena itu ia dapat dimanfaatkan ‎sebagai media untuk menciptakan bi’ah lughawiyah yang berhubungan ‎dengan obrolan keseharian, ungkapan-ungkapan transaksional dalam jual beli, ‎satuan-satuan mata uang dan sebagainya. Akan tetapi kesulitannya adalah ‎bahwa kantin sekolah merupakan lokasi yang sulit dikontrol oleh guru. Oleh ‎karena itu kesadaran siswa dan petugas kantinlah yang dituntut lebih banyak ‎untuk mengoptimalkan kantin ini sebagai media pembentuk bi’ah lughawiyah. ‎
Langkah-langkah yang biasa dilakukan adalah misalnya dengan ‎membekali petugas kantin dengan mufradat dan ungkapan-ungkapan pendek ‎yang berhubungan dengan transaksi jual beli, nama-nama barang yang dijual ‎dan lain sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini dapat ajarkan oleh guru di dalam ‎ruang kelas kepada siswa untuk dipergunakan di ruang kantin. Atau bias juga ‎dibuatkan daftar ungkapan dan ditempel di dinding kantin. Kemudian ‎apabila misalnya ada ungkapan baru yang belum diajarkan atau belum ditulis ‎akan tetapi ungkapan tersebut diperlukan, maka siswa bisa menanyakan ‎kepada guru bahasa Arab, atau mencari sendiri di buku-buku percakapan yang ‎ada.‎
‎6)‎ Masjid/mushala
Salah satu media yang efektif untuk membentuk bi’ah lughawiyah ‎adalah masjid, karena secara psikologis dan religious ia berkaitan erat dengan ‎bahasa Arab. Bagaimana tidak, karena bahasa dalam ritual agama kita adalah ‎bahasa Arab. Oleh karena itulah guru dan siswa dapat mudah larut dalam ‎suasana Arab manakala sedang berada di dalam masjid. ‎
Kegiatan yang bisa dilakukan dengan masjid sebagai media adalah ‎seperti kultum ba’da shalat jama’ah dengan menggunakan bahasa Arab baik ‎dilakukan oleh siswa maupun guru. Hal lain yang dapat dilakukan adalah ‎pengumuman-pengumuman lisan, yang biasanya disiarkan dari masjid karena ‎tersedia loud speaker, hendaknya dilakukan dengan menggunakan bahasa ‎Arab. Untuk memudahkan maksud ini, maka didekat corong mic disediakan ‎kosa kata-kosa kata atau ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan ‎pengumuman ini. ‎
‎7)‎ Halaman Sekolah
Salah satu area yang dapat digunakan sebagai media untuk ‎menciptakan bi’ah lughawiyah adalah halaman sekolah, karena beberapa ‎kegiatan siswa dilakukan di halaman sekolah, seperti upaca bendera tiap hari ‎senin atau tanggal 17 Agustus, baris-berbaris, kepramukaan, olah raga ringan ‎dan sebagainya. Kita dapat “menunggangi” kegiatan-kegiatan ini untuk ‎menciptakan suasana Arab. Misalnya, ketika memberi aba-aba baris berbaris, ‎atau upacara dengan menggunakan bahasa Arab.‎
Di samping dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan tersebut kita juga ‎dapat merancang halaman sekolah kita bernuansa Arab. Misalnya, dengan ‎memberi label semua jenis tanaman dengan bahasa Arab, membuat slogan-‎slogan dalam bahasa Arab, menempel gambar-gambar atau ornamen-ornamen ‎yang bernuansa Arab, membuat papan-papan pemberitahuan seperti “tamu ‎harap lapor”, “dilarang parkir disini”, “daerah bebas rokok”, “visi misi ‎sekolah” dan lain sebagainya dibuat dalam bahasa Arab.‎
‎8)‎ Ruang Workshop
Bila di sekolah tersedia ruang workshop untuk praktik keterampilan ‎siswa, maka ia juga dapat dimanfaatkan sebagai media dalam menciptakan ‎bi’ah lughawiyah. Hal demikian bisa dilakukan dengan memperkenalkan ‎peralatan, mesin-mesin, proses kerja dan lain sebagainya yang ada dalam ‎ruang workshop dengan bahasa Arab. Urgensi hal ini akan semakin tampak ‎apabila sekolah tersebut memiliki orientasi kerja. Karena salah satu kelemahan ‎tenaga kerja Indonesia adalah lemahnya kemampuan berkomunikasi dalam ‎bidang keahlian kerjanya. Akan tetapi ini, tentu saja, menuntut keterampilan ‎guru bahasa Arab pada lembaga tersebut.‎
‎9)‎ Ruang Klinik/UKS
Ruang klinik sekolah juga dapat dimanfaatkan sebagai media untuk ‎menciptakan suasana bi’ah lughawiyah. Ia merupakan miniature suasana ‎rumah sakit. Sehingga guru bahasa Arab dapat merancang ruang tersebut ‎untuk membawa siswa ke suasana rumah sakit Arab. Guru bahasa Arab dapat ‎menginfentarisir ungkapan-ungkapan dan mufradat yang berhubungan dengan ‎penyakit, pengobatan, resep, obat-obatan dan lain sebagainya dan ‎mengajarkannya kepada petugas UKS dan para siswa. ‎
‎10)‎ ‎ Ruang pertemuan/auditorium
Ruang pertemuan atau auditorium juga merupakan tempat yang dapat ‎dimaipulasi sebagai media untuk meciptakan bi’ah lughawiyah. Auditorium ‎biasanya memuat banyak orang, tersedia pengeras suara, terdapat panggung ‎atau podium dan lain-lain. Ruangan ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ‎pekan Arab atau istilah Efendi “yaum araby”.‎ ‎ Pada pekan ini dapat ‎dirancang kegiatan-kegiatan yang berbau Arab, misalnya lomba pidato bahasa ‎Arab, baca puisi Arab, diskusi dengan bahasa Arab, cerdas cermat bahasa ‎Arab, pementasan drama berbahasa Arab, atau memutar film berbahasa Arab ‎dan mengapresiasinya.‎
H.‎ Kesimpulan dan Penutup ‎
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan beberapa hal berikut:‎
‎1.‎ Lingkungan sekolah telah menyediakan untuk kita miniatur dari suasana ‎Arab (Arabic Zone), tinggal bagaimana kita menyiasatinya.‎
‎2.‎ Benda apa saja dapat kita gunakan sebagai media untuk menciptakan bi’ah ‎lughawiyah yang kita inginkan.‎
‎3.‎ Diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari semua pihak untuk ‎menciptakan bi’ah lughawiyah yang baik.‎
Demikian makalah ini penulis susun, dimana sebagian adalah ‎merupakan teori yang terdapat pada buku-buku, terutama uraian yang ada ‎pada latar belakang, dan sebagian lagi adalah hasil ijtihad penulis yang ‎didasarkan pada pengalaman penulis selama mengajar. Oleh karena itu apabila ‎di sana sini terdapat kekurangan dan kesalahan maka kritik dan saran sangat ‎penulis harapkan. Makalah ini kiranya dapat dijadikan sebagai pengantar ‎untuk merumuskan pola-pola pemanfaatan media dalam menciptakan bi’ah ‎lughawiyah dengan lebih baik. Semoga. ‎

Daftar Pustaka
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina, Sosio Linguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: ‎Rineka Cipta), 2004‎
Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta), 2003‎
Douglas, Brown H., The Principles of Language Teaching, Terj. oleh 'Abduh al-‎Rajihi dan 'Ali Ahmad Sya'ban, Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'lîmuha, ‎‎(Beirut: Dar al-Nahdlah al-'Arabiyyah), 1994‎
Efendi, Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat), ‎‎2005‎
Effendy,Ahmad Fuad, "Pendekatan Komunikatif untuk Menciptakan Lingkungan ‎Bahasa Arab (Bî'ah 'Arabiyyah) di Madrasah", Makalah disampaikan dalam ‎Pelatihan Bahasa Arab Bagi Guru Bahasa Arab di Madrasah, Jakarta, ‎Oktober 2004.‎
al-Fattâh, Nâzik Ibrâhim 'Abd, Musykilât al-Lughah wa al-Takhâthub fi Dlau' 'Ilm ‎al-Lughah al-Nafsî, (Kairo: Dâr Quba'), 2002‎
al-Hajjâj, Abu al-Husain Muslim ibn, Mukhtashar Shahih al-Muslim, Tahqiq ‎Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bâni, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi), 2000, Cet. ‎I, hadits No. 1803.‎
Krashen, S.D., Formal and Informal Linguistc Environments in Language ‎Acquisition and Language Learning, TESOL Quartely (10) June, 1976.‎
al Khuly, Muhammad Ali, Asalib Tadrisi al Lughah al ‘Arabiyah, (Riyadh: ), 1989‎
al-Khalifah, Hasan Ja'far, Fushû lfi Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, (Riyadh: ‎Maktabah al-Rusyd), 2003, Cet. II,‎
Manshûr, Abdul Majîd Sayyid Ahmad, Ilm al-Lughah al Nafsi, (Riyadh: Imâdat ‎al-Syu’ûn al Maktabah Jâmi’at al-Malik Saud), 1982‎
Miarso, Yusufhadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Prenada), ‎‎2005‎
Nurhadi, dkk., Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, ‎‎(Malang : Universitas Negeri Malang), 2004‎
Sadiman, Arif S. et.al, Media Pendidikan Pengertian Pengembangan dan ‎pemanfaatannya, (Jakarta: Rajawali Press), 1986‎
al-Samirra'i, Ahmad ibn 'Abd al-Rahmân, Ajhijah al-'Ardh al-Hâithiyyah, dalam ‎http://www. Tarbawi.com. ‎
Wâfi, Abdul Wâhid, Al Lughah wa Al Mujtama’, (Kairo: Dar al-Nahdhat Mishr) ‎‎1971‎

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum sir, Your writing really helped me, thank you.