PENCIPTAAN LINGKUNGAN BERBAHASA (BÎ’AH LUGHAWIYYAH) DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
Oleh : Muktafi (NIM : 06.2.00.1.13.08.0047)
A. Pendahuluan
Pola pikir sentralistik, monolitik, dan uniformistik mewarnai pengemasan dunia pendidikan kita. Keputusan selalu dilaksanakan berdasarkan hierarkhi-birokrasi. Kita lupa bahwa indikator keberhasilan pendidikan adalah bahwa anak didik kita sejahtera. Anak didik kita sejahtera jika aktivitas belajar menyenangkan dan menggairahkan. Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dialaminya, bukan “mengetahui” -nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dari kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang, pendekatan kontekstual (contextual teaching abd learning/CTL) adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu.
Nurhadi, dkk. (2004) menyebutkan 7 prinsip penerapan pembelajaran Kontekstual , yaitu : 1). Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa (developmentally appropriate), 2). Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (dependent learning group), 3). Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learning), 4). Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of student), 5). Memperhatikan multi-intelegensi siswa (multple intelligences), 6). Menggunakan teknik-teknik bertanya (Questioning), dan 7). Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment)
Perkembangan kemampuan berbahasa seseorang dipengaruhi antara lain oleh lingkungan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa anak yang tinggal di lingkungan ekonomi yang mapan akan lebih cepat, lebih teliti dan lebih kuat berbahasa dibandingkan dengan mereka yang tumbuh di lingkungan sosial ekonomi rendah. Arti pentingnya lingkungan berbahasa dalam pembentukan kemampuan berbahasa ini telah disadari oleh bangsa Arab sejak dulu, sehingga mereka mengirim anak-anak mereka ke bâdiyah untuk memperoleh bahasa yang baik, meskipun orang tua mereka sendiri juga berbicara dengan bahasa Arab.
Abdul Wahid Wafi menyatakan bahwa bahasa bukanlah produk individu secara personal, melainkan produk social secara komunal, dimana setiap individu tumbuh dan menyerap aturan kebahasaan dalam komunitasnya dengan cara belajar (ta’allum) atau meniru (muhâkah). Oleh karena hal inilah penciptaan lingkungan berbahasa yang baik dan benar akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa seseorang.
Memperkuat pendapat ini, Abdul Chaer menyatakan bahwa keberhasilan belajar, termasuk didalamnya belajar bahasa, disamping ditentukan oleh sejumlah variabel yakni 1) murid, 2) guru, 3) bahan pelajaran dan 4) tujuan pengajaran, ia juga dipengaruhi oleh lingkungan belajar yang baik. Murid yang berasal dari lingkungan keluarga yang baik, belajar di lingkungan sekolah yang baik, guru yang bertanggung jawab akan memberi hasil yang lebih baik daripada lingkungan sekolah yang kurang baik.
Bahasa diperoleh manusia melalui dua cara yaitu 1) akuisisi bahasa (iktisâb al lughah/language acquisition) yaitu yang biasa terjadi pada anak-anak ketika memperoleh kemampuan berbahasa pertamanya atau bahasa ibu dari lingkungannya. Kemampuan ini diperolehnya secara bawah sadar dengan cara berkomunikasi langsung dengan orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut, 2) pembelajaran bahasa (language learning/ta’allum al lughah) yaitu kemampuan berbahasa yang diperoleh dari proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang mempelajari bahasa kedua yang dilakukannya dengan sadar, setelah ia memperoleh bahasa pertamanya. Krashen (1976) dalam Fu’ad Efendi, menyatakan bahwa semua wacana bahasa yang kita peroleh adalah hasil dari akuisisi. Adapun sistem bahasa yang kita kuasai melalui belajar akan berfungsi sebagai “monitor” yang dalam keadaan tertentu akan mengoreksi, menyunting dan memperbaiki apa yang kita miliki dari akuisisi.
Dengan demikian, bî’ah lughawiyyah ada dua macam, yaitu ligkungan formal, yakni yang ada dalam situasi belajar bahasa, dan lingkungan informal, yakni yang ada dalam situasi pemerolehan bahasa. Kedua bi’ah lughawiyah ini mempunyai andil yang berbeda dalam mempengaruhi kemampuan berbahasa. Lingkungan informal memberikan masukan bagi perolehan bahasa, sedangkan lingkungan formal menyediakan perangkat untuk monitor apa yang telah diperoleh.
Teori diatas dapat menjelaskan fenomena mengapa pesantren yang memberi kesempatan kepada santrinya untuk terlibat langsung menggunakan bahasa Arab, cenderung lebih lancar berbicara daripada santri yang hanya berkonsentrasi pada pendalaman nahwu-sharf di dalam kelas.
Proses belajar, dimaknai sebagai perubahan sikap dan tingkah laku seseorang yang diperoleh akibat interaksinya dengan lingkungannya dalam berbagai jenis sumber baik orang (people) atau bukan orang (message). Ini berarti bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, walaupun tugas, peran dan fungsinya sangat penting. Pembelajar dapat memperoleh pengetahuan dari lingkungan yang telah di-setting sebagai sumber belajar. Misalnya dari bahan-bahan yang telah disiapkan atau dari lingkungan kelas, kantor sekolah, perpustakaan, laboratorium, asrama, halaman sekolah dan lain-lain. Teori belajar seperti ini mengarahkan bentuk pembelajaran yang terpusat pada siswa atau yang dikenal dengan student centered.
Uraian diatas menjelaskan kepada kita arti pentingnya pembentukan bî’ah lughawiyah dan peranan media dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pembelajar. Dalam makalah ini akan diuraikan beberapa hal yaitu 1) bagaimana lingkungan berbahasa itu harus dibuat, 2) media apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk membentuk lingkungan berbahasa yang baik.
B. Konsep Lingkungan Bahasa
Lingkungan bahasa adalah segala sesuatu yang didengar dan dilihat oleh pembelajar berkaitan dengan bahasa target yang sedang dipelajari. Sebagaimana yang diusulkan oleh Krashen, ada dua jenis lingkungan berbahasa yaitu lingkungan formal dan lingkungan informal.
Lingkungan formal, mencakup berbagai aspek pendidikan formal dan non formal, dan sebagian besar berada dalam kelas atau laboratorium. Lingkungan formal ini dapat memberikan masukan kepada pembelajar berupa pemerolehan wacana bahasa (keterampilan berbahasa) ataupun sistem bahasa (pengetahuan unsur-unsur bahasa), tergantung kepada bagaimana tipe pembelajaran atau metode yang digunakan oleh guru. Namun secara umum terdapat kecenderungan bahwa lingkungan formal memberikan pengetahuan tentang sistem bahasa lebih banyak dibandingkan wacana bahasa.
Adapun lingkungan informal, ia memberi perolehan wacana bahasa secara alamiah dan sebagian besar terjadi di luar kelas. Bentuk perolehan wacana ini bisa berupa bahasa yang digunakan oleh guru, siswa, kepala sekolah, karyawan dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan sekolah serta lingkungan alam atau buatan yang berada di sekitar sekolah.
Dari keterangan diatas yang penting bagi kita adalah, bagaimana memberdayakan kedua bî’ah lughawiyah tersebut dalam upaya mendukung tercapainya kompetensi berbahasa oleh para pembelajar. Artinya semua pihak yang terkait dengan kedua lingkungan tersebut harus memahami peran dan fungsinya masing-masing.
C. Lingkungan sebagai Subsistem Pembelajaran
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran adalah lingkungan (environment, bî’ah), tak terkecuali lingkungan berbahasa. Keberadaan lingkungan berbahasa Arab menjadi sangat penting karena ia selalu hadir, melingkupi, memberi nuansa dan konteks pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Jika lingkungan tempat pembelajaran bahasa Arab itu kondusif, niscaya proses pembelajaran juga berlangsung kondusif. Sedemikian pentingnya lingkungan pembelajaran itu, sehingga Nabi Muhammad saw. mengillustrasikan bahwa lingkungan keluarga itu dapat merubah keyakinan dan agama seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan itu. Sabda Nabi saw.: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah (lingkungan keluarga) yang kemudian menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” (HR Muslim).
Menurut hasil penelitian Ahmad ibn Abd al-Rahmân al-Sâmirra'î, tingkat pencapaian pengetahuan melalui indera penglihatan mencapai 75%, sementara melalui indera pendengaran hanya 13%. Sedangkan melalui indera lain, seperti pengecapan, sentuhan, penciuman, pengetahuan hanya dapat diperoleh sebesar 12%. Lingkungan pembelajaran yang dilengkapi dengan gambar-gambar memberikan dampak 3 (tiga) kali lebih kuat dan mendalam daripada kata-kata (ceramah). Sementara jika gambar dan kata-kata dipadukan, maka dampaknya enam kali lebih kuat daripada kata-kata saja. Karena itu, lingkungan pendidikan yang berbahasa Arab diyakini memainkan peran penting dalam menunjang efektivitas pembelajaran bahasa Arab di lembaga pendidikan. Lingkungan berbahasa Arab tidak hanya dapat menjadi sumber dan motivasi belajar, melainkan juga menjadi aset dan kebanggaan lembaga pendidikan itu sendiri dalam menunjukkan citra positif dan keunggulan kualitasnya.
Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan ('alâqah dâllah) antara lingkungan bahasa dan kemampuan berbahasa kedua. Carol, Upshur, dan Mason meneliti sejumlah mahasiswa asing di Amerika Serikat yang mengikuti kuliah tambahan bahasa Inggris dan yang tidak mengikuti kuliah tambahan. Ternyata pada akhir semester, kemampuan berbahasa Inggris kedua kelompok mahasiswa itu hampir sama. Penelitian Krashen juga membuktikan bahwa lingkungan formal dan informal mempengaruhi kemampuan berbahasa asing dalam cara yang berbeda. Lingkungan informal memberikan masukan bagi pemerolehan bahasa (iktisâb al-lughah, language acquisition), sedangkan lingkungan formal memberikan masukan bagi monitor (menyunting dan memperbaiki wacana kebahasaan yang telah dimiliki melalui pemerolehan). Akan tetapi, kontak dengan suatu bahasa dalam lingkungan informal tidak menjamin kemampuannya dalam berbahasa itu bertambah, kecuali kalau mahasiswa terlibat dalam penggunaan bahasa itu.
Dalam konteks itu, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penciptaaan lingkungan berbahasa Arab, tentu, bukan untuk mereduksi "nasionalisme" sebagai warga bangsa, melainkan menumbuhkan tradisi positif dalam belajar bahasa Arab aktif. Tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tidak lain, adalah: (1) untuk membiasakan dan membisakan sivitas akademika dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan (muhâdatsah), diskusi (munâqasyah), seminar (nadwah), ceramah (muhâdlarah), dan berekspresi melalui tulisan (ta'bîr tahrîrî); (2) memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa Arab yang sudah dipelajari dalam kelas, sehingga para mahasiswa lebih memiliki kesempatan untuk mempraktikkan bahasa Arab; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu antara teori dan praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan. Singkatnya, tujuan utama penciptaan lingkungan berbahasa Arab adalah meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa, dosen, dan lainnya dalam berbahasa Arab secara aktif, baik lisan maupun tulisan, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di kampus ini menjadi lebih dinamis, efektif dan bermakna.
D. Prasyarat dan Prinsip-prinsip Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab
Diyakini bahwa menciptakan lingkungan berbahasa Arab yang kondusif tidak mudah. Karena itu, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Pertama, adanya sikap dan apresiasi positif terhadap bahasa Arab dari pihak-pihak terkait, yaitu: semua civitas madrasah mulai dari guru sampai karyawan . Sikap dan apresiasi positif mempunyai implikasi yang besar terhadap pembinaan dan pengembangan keterampilan berbahasa. Dari sikap dan apresiasi positif inilah akan tumbuh motivasi dan "rasa butuh" yang tinggi. Dalam konteks ini, Douglas menjelaskan bahwa motivasi tersebut akan melahirkan: (a) rasa butuh untuk menemukan sesuatu "di balik gunung", (b) rasa butuh berbuat dalam lingkungan kondusif dan melakukan perubahan, (c) rasa butuh untuk beraktivitas (praktik berbahasa), (d) rasa butuh untuk menggerakkan orang lain agar bergiat dalam berbahasa, (e) rasa butuh untuk mengetahui dan memecahkan persoalan, dan (f) rasa butuh untuk aktualisasi diri dan adaptasi terhadap lingkungan berbahasa.
Kedua, adanya "aturan main" atau pedoman yang jelas mengenai format dan model pengembangan lingkungan bahasa Arab yang dikehendaki oleh madrasah. "Aturan main" ini menjadi sangat penting untuk "mengikat komitmen" dan menyatukan visi dan tekad bersama untuk mengembangkan lingkungan berbahasa Arab. Sedapat mungkin aturan main itu dapat disosialisasikan sejak mahasiswa baru mulai menginjakkan kaki di kampus ini agar mereka mempunyai sikap dan apresiasi yang positif terhadap bahasa Arab. Jika dipandang perlu, dalam aturan itu juga dibentuk semacam "mahkamah al-lughah" yang berfungsi sebagai pemantau, pengawas kedisiplinan berbahasa Arab, sekaligus pemutus dan pengekskusi "hukuman-hukuman tertentu" bagi pelanggar kesepakatan bersama.
Ketiga, adanya beberapa figur yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab aktif. Keberadaan dosen native speaker (nâthiq bi al-lughah al-'Arabiyyah) tampaknya harus dioptimalkan fungsi dan perannya dalam mewarnai pembinaan dan pengembangan keterampilan bahasa Arab. Figur-figur itu merupakan penggerak utama dan tim kreatif dalam mendinamisasi penciptaan lingkungan berbahasa Arab.
Keempat, penyediaan alokasi dana yang memadai, baik untuk pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung maupun untuk memberikan "insentif" bagi para penggerak dan tim kreatif penciptaan lingkungan berbahasa Arab.
Adapun prinsip-prinsip penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang perlu dijadikan sebagai landasan pengembangan sistem pembelajaran bahasa Arab adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip keterpaduan dengan visi, misi dan orientasi pem¬belajaran bahasa Arab. Penciptaan lingkungan berbahasa Arab harus diletakkan dalam kerangka mendukung pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Arab dan pemenuhan suasana yang kondusif bagi pendayagunaan bahasa Arab secara aktif.
Kedua, prinsip skala prioritas dan gradasi program. Implementasi penciptaan lingkungan berbahasa Arab harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan skala prioritas tertentu. Misalnya, ketika warga madrasah saling bertemu, diharapkan masing-masing bisa bertegu sapa: dengan mengucapkan ahlan wa sahlan, shabâh al-khair, kaifa haluk, mâdza tadrus al-yaum, ila al-liqâ', dsb.
Ketiga, kebersamaan dan partisipasi aktif semua pihak. Kebersamaan dalam berbahasa asing, secara psikologis dapat memberikan nuansa yang kondusif dalam berbahasa, sehingga mahasiswa yang tidak bisa berkomunikasi akan merasa malu, kemudian berusaha untuk bisa dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara psikolinguistik, lingkungan pergaulan dalam berbahasa berpengaruh cukup signifi¬kan dalam pembentukan kesadaran berbahasa asing.
Keempat, prinsip konsistensi dan keberlanjutan. Yang paling sulit dalam penciptaan lingkungan berbahasa adalah sikap konsisten (istiqâmah) dari komunitas bahasa itu sendiri. Karena itu, diperlukan adanya sebuah sistem yang memungkinkan satu sama saling mengontrol dan membudayakan penggunaan bahasa Arab secara aktif. Boleh jadi, penciptaan lingkungan dimaksud mengalami kejenuhan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya program berkelanjutan yang bersifat varitif dan kreatif dalam menciptakan suasana yang kondusif.
Kelima, prinsip pendayagunaan teknologi dan multi-media. Di antara yang dapat membuat lingkungan berbahasa Arab adalah teknologi informasi dan pendayagunaan multi-media. Keberadaan TV yang dapat memancarkan siaran dari Timur Tengah perlu dioptimalkan penggunaannya. Dipandang perlu juga semua civitas madrasah diberikan akses untuk menggunakan internet, terutama yang berbasis di negara-negara Arab, agar kita dapat memperoleh –dan meng-update—informasi aktual mengenai bahasa Arab, dan pada gilirannya, kita dapat memperkenalkan kosa kata-kosa kata baru untuk konsumsi warga civitas madrasah
E. Menciptakan Lingkungan Bahasa Arab Formal
Agar lingkungan formal dapat memberi masukan pemerolehan wacana bahasa dan bukan sedekar sistem bahasa, maka guru dan murid harus bekerja sama dalam memanfaatkan media yang ada dalam ruang kelas. Guru, pertama-tama harus merancang sumber daya yang ada dalam kelas untuk dijadikan media dalam memperkaya wacana siswa. Untuk itu perlu ada klasifikasi dan kalkulasi sumber apa saja yang ada di dalam kelas.
Lazimnya, sebuah kelas terdapat benda-benda berikut: 1) papan tulis dan perlengkapannya, 2) papan absensi, 3) daftar hadir, 4) jurnal guru, 5) lemari buku dengan buku-buku atau majalah, 6) bendera, 7) taman kelas, 8) denah kelas atau jadwal kebersihan kelas, 9) gambar-gambar peraga (termasuk peta), 10) lauhat al ibtikar (papan kreasi siswa) , 11) gambar-gambar pahlawan, 12) kalender akademik dan almanac, 13) perangkat pengeras suara (ampliflaier dan tape recorder), 14) perangkat komputer dan lcd proyektor (untuk kelas multi media) dan lain-lain.
Dari daftar sumber daya yang dipaparkan diatas, kita dapat melihat bahwa sebagian besar adalah bersifat visual kecuali perangkat komputer. Oleh karena itu yang harus diupayakan oleh guru adalah bagaimana merancang dan menjadikan sumber-sumber daya tersebut dengan mengoptimalkan penggunaannya. Berikut ini, penulis usulkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan masing-masing sumber tersebut berdasarkan pengalaman penulis sendiri.
Untuk mengoptimalkan papan tulis sebagai media dalam membentuk bi’ah lughawiyah adalah dengan selalu menuliskan tanggal, bulan dan tahun pada pojok kiri atas papan tulis dengan menggunakan penaggalan hijriyah atau masehi dengan bahasa Arab. Sedangkan pada bagian kanan atas selalu dituliskan madah , maudhu’ dan mabhats atau halaman dari buku yang akan dibahas, dan pada bagian tengah papan tulis selalu ditulis kalimat basmalah. Kemudian agar keterangan tertulis pada papan tulis tidak membingungkan siswa, kita dapat membagi papan tulis menjadi beberapa bagian dengan garis vertical. Sebagai missal, kita dapat membagi papan menjadi tiga bagian, dengan rincian bagian pertama berisi mufradat, bagian kedua berisi qawai’d, bagian ketiga kita gunakan untuk latihan dan gambar-gambar penjelas. Apabila memang diperlukan, penggunaan kapur atau spidol berwarna sangat dianjurkan.
Papan absensi siswa hendaknya selalu ditulis dengan bahasa arab atau dengan menggunakan dua bahasa yaitu Arab dan lainnya, dan kalau memungkinkan daftar absensi siswa ditulis dengan bahasa Arab. Akan tetapi kalau tidak memungkingkan, maka hendaknya guru bahasa Arab mempunyai absen khusus yang ditulis dengan bahasa Arab dan hendaknya siswalah yang membaca dan melakukan panggilan absen untuk kawan-kawannya, sehingga meraka akan terbiasa membaca format absensi dalam bahasa Arab.
Jurnal guru hendaknya juga dibuat dengan format berbahasa Arab. Tetapi kalau tidak memungkinkan dilakukan untuk semua pelajaran, maka guru bahasa Arab hendaknya memiliki jurnal khusus dengan format bahasa Arab dan kita minta siswa untuk mengisikannya dengan arahan guru, sehingga sekali lagi siswa terbiasa melihat dan mengisi blanko berbahasa Arab.
Lemari yang ada di dalam kelas hendaknya tidak hanya berisi buku-buku pelajaran atau referensi yang berbahasa Indonesia atau Inggris saja, tetapi juga harus diisi dengan buku-buku, majalah, koran atau kemasan-kemasan barang yang berbahasa. Untuk mendapatkan koran-koran atau majalah yang berbahasa Arab ini dapat dilakukan dengan berlangganan atau dengan meminta dari kantor-kantor kedutaan dan atase negara-negara Arab. Sumber-sumber media ini pada saat-saat tertentu dapat dijadikan sebagai bahan untuk diskusi materi pelajaran bahasa Arab.
Kelas yang di-setting tidak seperti mobil (kelas-kelas tradisional) biasanya memiliki denah tempat duduk siswa agar memudahkan guru mengenali siswanya. Denah ini hendaknya juga dimanfaatkan untuk dijadikan media dalam membentuk bi’ah lughawiyah yaitu dengan cara menuliskan nama-nama siswa dengan huruf atau bahasa Arab, begitu pula dengan jadwal petugas kebersihan kelas.
Adapun gambar peraga atau peta, hendaknya guru memberi tugas kepada siswa untuk membuatnya sendiri dengan memberi label pada peta atau gambar gambarnya dengan bahasa Arab. Gambar peraga yang dibuat hendaknya gambar yang sederhana dan tidak terlalu menyertakan detail-detail yang tidak perlu, agar memudahkan penjelasan apabila diperlukan.
Yang paling menarik adalah hendaknya di setiap kelas disediakan papan (cukup setengah ukuran tripleks) yang dibingkai dan dilapisi dengan gabus dan ditutup kain, yang akan berfungsi sebagai papan untuk menempelkan hasil karya siswa yang bernuansa bahasa. Karya siswa ini dapat berupa cerita pendek, cerita bergambar, teka teki, usulan perbaikan untuk guru atau kelas, dan apa saja yang ingin ditulis atau digambar oleh siswa.
Kalender akademik hendaknya juga dibuat dengan bahasa Arab, tapi bila tidak memungkinkan, maka dapat dibuat dengan dua format yaitu Arab dan lainnya, sedang almanak atau penanggalan dipilih penanggalan Arab. penulisan kalender akademik dengan dua bahasa biasanya justru akan memecah konsentrasi siswa, maka akan lebih bagus apabila hanya dengan format Arab saja. Hal demikian karena siswa cenderung hanya akan membaca yang berbahasa Indonesia karena lebih mudah, dengan demikian tujuan diciptakannya bi’ah lughawiyah tidak tercapai.
Selanjutnya pada dinding kelas hendaknya juga ditempeli hasil karya siswa yang bernuansa Arab seperti: tulisan kaligrafi, lukisan suasana timur tengah, ornamen-ornamen Arab dan lain-lain.
Apabila terdapat perangkat pengeras suara dan tape recorder di dalam kelas, maka harus dilengkapi dengan kaset-kaset berbahasa Arab dan kalau bisa yang berisi rekaman dari native speaker, baik berupa pidato, hiwar, lagu (nasyid) atau lainnya. Kaset-kaset yang berbahasa Arab saat ini tidak sulit didapatkan karena sudah ada ditoko-toko buku atau di lembaga-lembaga dakwah. Guru juga dapat mempersiapkan bahan ini dengan merekam siaran radio berbahasa Arab lewat gelombang SW atau televisi parabola (kalau ada), atau situs internet berbahasa Arab baik berupa berita, wawancara, film, ceramah, atau apa saja, kemudian diperdegarkan dikelas dan dianalisis.
Apabila di dalam kelas juga terdapat seperangkat komputer dan lcd proyektor, maka pembentukan bi’ah akan lebih mudah dilakukan. Saat ini sudah banyak sekali program-program pengajaran bahasa Arab interaktif. Kelebihan media ini juga dapat menghadirkan suasana Arab dengan mudah misalnya dengan memutar film-film berbahasa Arab atau tayangan budaya dan suasana alam Arab. Dan lebih menarik lagi apabila komputer ini terhubung dengan jaringan internet, maka banyak yang dapat dilakukan oleh guru.
Demikian uraian mengenai pembentukan bi’ah lughawiyah dalam lingkungan formal. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa benda apa saja dapat dijadikan media untuk membentuk bi’ah yang baik, akan tetapi peran guru, kebijakan lembaga dan kerja sama dengan siswa memiliki peran yang cukup signifikan untuk membuat usaha ini gagal atau berhasil.
F. Menciptakan Lingkungan bahasa Arab Informal
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, lingkungan informal adalah lingkungan di luar kelas. Bi’ah lughawiyah Arab informal yang sebenarnya adalah negeri Arab itu sendiri. Diluar negeri Arab, kita tidak bisa mendapati bi’ah lughawiyah seperti itu aslinya meskipun di daerah imigran Arab atau kampong Arab. Akan tetapi by design kita dapat merencanakan dan membuat miniature negeri Arab (Arabic Zone) dalam lingkungan informal sejauh yang dapat kita kontrol.
Cakupan lingkungan ini lebih luas daripada lingkungan formal, maka tentu saja tidak semua sudut-sudutnya dapat dikontrol oleh guru atau sistem yang dibuat. Lingkungan informal ini juga melibatkan pihak-pihak yang lebih banyak, sehingga untuk membentuknya diperlukan keterlibatan dan kesadaran dari pihak-pihak tersebut. Tentu saja kepala sekolah adalah sebagai pihak yang paling berperan dalam mensukseskan gerakan ini, karena ia memiliki kebijakan umum tentang arah, tata kerja dan sistem yang ada dalam lingkungan sekolah.
Untuk itulah ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan hal tersebut. Effendi mengusulkan paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu: Adanya sikap positif terhadap Bahasa Arab dan komitmen yang kuat untuk memajukan pengajaran bahasa Arab dari pihak-pihak terkait. Pihak-pihak terkait tersebut adalah 1) kepala sekolah, 2) guru bahasa Arab itu sendiri, 3) siswa, 4) dan lebih bagus lagi kalau seluruh unsur SDM sekolah baik tenaga kependidikan maupun non kependidikan ikut mendukungnya. Adanya figur dalam sekolah yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab, baik native atau bukan. Adanya alokasi dana yang memadai untuk menyediakan sarana yang diperlukan.
G. Strategi Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab
Menurut hemat penulis, untuk memudahkan dalam pembentukan bi’ah lughawiyah, kita bisa membagi lingkungan sekolah menjadi beberapa space. Pembagian space ini penulis dasarkan pada jenis komunitas dan jenis komunikasi yang dilakukan siswa. Space-space dimaksud adalah 1) kantor, 2) perpustakaan, 3), laboratorium bahasa 4) laboratorium IPA, 5) kantin sekolah, 6), masjid/mushala 7) halaman sekolah, 8) ruang work shop, 9) klinik/UKS, 10) auditorium/ruang pertemuan dan lain sebagainya.
Pada uraian berikut penulis usulkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membentuk bi’ah lughawiyah pada space-space tersebut.
1) Lingkungan Kantor
Dalam lingkungan ini semua ta’limat atau pengumuman yang ditujukan kepada siswa dan guru hendaknya ditulis menggunakan bahasa Arab. Ta’limat yang dimaksud adalah label “kantor”, “kepala sekolah”, “tidak boleh merokok”, “loket pembayaran”, “buka”, “tutup”, “dorong pintu”, “silahkan antri” dan lain sebagaimnya. Demikian pula dengan pengumuman, tapi dengan cacatan manakala akan menyulitkan pihak yang akan menerima pesan, maka dapat ditulis dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia atau Inggris.
Pada loket pembayaran, disisi dalam dituliskan bentuk-bentuk/contoh-contoh percakapan dan atau kosa kata untuk membantu petugas loket yang tidak dapat berbahasa Arab agar dapat berkomunikasi dengan siswa. Begitu pula pada bagian luar loket.
Diruang kepala sekolah, apabila kepala sekolah tidak bias berkomuikasi dengan bahasa Arab, maka dapat dibantu dengan daftar percakapan seputar perijinan, tanda tangan, rapat, ungkapan-ungkapan terima kasih, permintaan maaf dan lain sebagaimnya. Paling tidak ia mengharuskan siswanya untuk berbicara dengan bahasa Arab jika sedang menghadap.
Guru-guru yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab diwajibkan untuk menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa percakapan di kantor, dan mereka yang tidak bias berkomunikasi dengan bahasa Arab dibuatkan daftar ungkapan-ungkapan yang sering dipakai sehari seperti ahlan wa sahlan, ila al liqa’, ma’a al salamah, fi amanillah dan sebagaimnya. Daftar tersebut di tempel di dinding kantor dan di-update secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Apabila di kantor terdapat televisi, maka sebaiknya dihubungkan dengan parabola sehingga dapat mengakses televisi dari dunia Arab dan suaranya dapat dipancarkan keluar kantor dengan loud speaker pada jam-jam istirahat sekolah.
2) Lingkungan Perpustakaan
Dalam lingkungan perpustakaan media yang menonjol adalah media pandang yang berupa buku-buku, majalah, gambar-gambar peraga dan lain-lain. Untuk menciptakan bi’ah lughawiyah dapat dimulai dengan menggunakan papan-papan pengumunan dan label-label di perpustakaan dengan menggunakan bahasa Arab. Dalam ruang perpustakaan dapat disetting sebuah “Zawiyah ‘Arabiyah” (“pojok bahasa Arab”) yang berisi buku-buku, majalah-majalah, koran-koran, gambar-gambar yang yang bernuansa Arab. Dipojok ini semua siswa juga diwajibkan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab.
Pengadministrasian perpustakaan yang berkaitan dengan pinjam-meminjam buku-buku, mulai dari kartu anggota, daftar sirkulasi buku, daftar pengunjung dan lain-lain hendaknya juga menggunakan format Arab.
3) Lingkungan Laboratorium Bahasa
Laboratorium bahasa dapat dipandang sebagai lingkungan formal maupun informal. Ia akan bersifat formal manakala digunakan oleh guru untuk menyampaikan pelajaran, dan bersifat informal ketika tidak sedang digunakan sebagai ruang untuk menyampaikan pelajaran. Barangkali lingkungan di luar kelas yang paling mudah dikontrol adalah laboratorium. Dalam laboratorium juga tersedia media yang cukup untuk mendukung penciptaan bi’ah lughawiyah. Media-media tersebut dapat berupa media dengar (audio), media pandang (visual) atau gabungan keduanya (audio-visual). Di sini yang dituntut adalah keterampilan guru atau petugas laboratorium dalam memanfaatkan benda-benda tersebut.
4) Laboratorium IPA
Laboratorium IPA juga dapat dimanfaatkan sebagai media dalam pengajaran bahasa dan menciptakan bi’ah, meskipun ia tidak secara spesifik menggambarkan suasana Arab. Akan tetapi yang perlu diingat adalah bahwa suasana laboratorium IPA disemua Negara adalah relative sama, yang membedakan barangkali hanya kelengkapan peralatannya. Adapun mengenai prosedur dan suasana umumnya tidak jauh berbeda. Dengan demikian ia dapat digunakan sebagai penunjang penciptaan suasana bahasa, misalnya dengan menggunakan peralatan yang ada sebagai pengenalan organ-organ tubuh manusia, atau berbagai macam larutan-larutan kimia dan sebagainya.
5) Kantin Sekolah
Salah satu tempat yang disukai siswa untuk berkumpul-kumpul di luar kelas adalah kantin sekolah. Oleh karena itu ia dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menciptakan bi’ah lughawiyah yang berhubungan dengan obrolan keseharian, ungkapan-ungkapan transaksional dalam jual beli, satuan-satuan mata uang dan sebagainya. Akan tetapi kesulitannya adalah bahwa kantin sekolah merupakan lokasi yang sulit dikontrol oleh guru. Oleh karena itu kesadaran siswa dan petugas kantinlah yang dituntut lebih banyak untuk mengoptimalkan kantin ini sebagai media pembentuk bi’ah lughawiyah.
Langkah-langkah yang biasa dilakukan adalah misalnya dengan membekali petugas kantin dengan mufradat dan ungkapan-ungkapan pendek yang berhubungan dengan transaksi jual beli, nama-nama barang yang dijual dan lain sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini dapat ajarkan oleh guru di dalam ruang kelas kepada siswa untuk dipergunakan di ruang kantin. Atau bias juga dibuatkan daftar ungkapan dan ditempel di dinding kantin. Kemudian apabila misalnya ada ungkapan baru yang belum diajarkan atau belum ditulis akan tetapi ungkapan tersebut diperlukan, maka siswa bisa menanyakan kepada guru bahasa Arab, atau mencari sendiri di buku-buku percakapan yang ada.
6) Masjid/mushala
Salah satu media yang efektif untuk membentuk bi’ah lughawiyah adalah masjid, karena secara psikologis dan religious ia berkaitan erat dengan bahasa Arab. Bagaimana tidak, karena bahasa dalam ritual agama kita adalah bahasa Arab. Oleh karena itulah guru dan siswa dapat mudah larut dalam suasana Arab manakala sedang berada di dalam masjid.
Kegiatan yang bisa dilakukan dengan masjid sebagai media adalah seperti kultum ba’da shalat jama’ah dengan menggunakan bahasa Arab baik dilakukan oleh siswa maupun guru. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pengumuman-pengumuman lisan, yang biasanya disiarkan dari masjid karena tersedia loud speaker, hendaknya dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Untuk memudahkan maksud ini, maka didekat corong mic disediakan kosa kata-kosa kata atau ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan pengumuman ini.
7) Halaman Sekolah
Salah satu area yang dapat digunakan sebagai media untuk menciptakan bi’ah lughawiyah adalah halaman sekolah, karena beberapa kegiatan siswa dilakukan di halaman sekolah, seperti upaca bendera tiap hari senin atau tanggal 17 Agustus, baris-berbaris, kepramukaan, olah raga ringan dan sebagainya. Kita dapat “menunggangi” kegiatan-kegiatan ini untuk menciptakan suasana Arab. Misalnya, ketika memberi aba-aba baris berbaris, atau upacara dengan menggunakan bahasa Arab.
Di samping dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan tersebut kita juga dapat merancang halaman sekolah kita bernuansa Arab. Misalnya, dengan memberi label semua jenis tanaman dengan bahasa Arab, membuat slogan-slogan dalam bahasa Arab, menempel gambar-gambar atau ornamen-ornamen yang bernuansa Arab, membuat papan-papan pemberitahuan seperti “tamu harap lapor”, “dilarang parkir disini”, “daerah bebas rokok”, “visi misi sekolah” dan lain sebagainya dibuat dalam bahasa Arab.
8) Ruang Workshop
Bila di sekolah tersedia ruang workshop untuk praktik keterampilan siswa, maka ia juga dapat dimanfaatkan sebagai media dalam menciptakan bi’ah lughawiyah. Hal demikian bisa dilakukan dengan memperkenalkan peralatan, mesin-mesin, proses kerja dan lain sebagainya yang ada dalam ruang workshop dengan bahasa Arab. Urgensi hal ini akan semakin tampak apabila sekolah tersebut memiliki orientasi kerja. Karena salah satu kelemahan tenaga kerja Indonesia adalah lemahnya kemampuan berkomunikasi dalam bidang keahlian kerjanya. Akan tetapi ini, tentu saja, menuntut keterampilan guru bahasa Arab pada lembaga tersebut.
9) Ruang Klinik/UKS
Ruang klinik sekolah juga dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menciptakan suasana bi’ah lughawiyah. Ia merupakan miniature suasana rumah sakit. Sehingga guru bahasa Arab dapat merancang ruang tersebut untuk membawa siswa ke suasana rumah sakit Arab. Guru bahasa Arab dapat menginfentarisir ungkapan-ungkapan dan mufradat yang berhubungan dengan penyakit, pengobatan, resep, obat-obatan dan lain sebagainya dan mengajarkannya kepada petugas UKS dan para siswa.
10) Ruang pertemuan/auditorium
Ruang pertemuan atau auditorium juga merupakan tempat yang dapat dimaipulasi sebagai media untuk meciptakan bi’ah lughawiyah. Auditorium biasanya memuat banyak orang, tersedia pengeras suara, terdapat panggung atau podium dan lain-lain. Ruangan ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pekan Arab atau istilah Efendi “yaum araby”. Pada pekan ini dapat dirancang kegiatan-kegiatan yang berbau Arab, misalnya lomba pidato bahasa Arab, baca puisi Arab, diskusi dengan bahasa Arab, cerdas cermat bahasa Arab, pementasan drama berbahasa Arab, atau memutar film berbahasa Arab dan mengapresiasinya.
H. Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan beberapa hal berikut:
1. Lingkungan sekolah telah menyediakan untuk kita miniatur dari suasana Arab (Arabic Zone), tinggal bagaimana kita menyiasatinya.
2. Benda apa saja dapat kita gunakan sebagai media untuk menciptakan bi’ah lughawiyah yang kita inginkan.
3. Diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari semua pihak untuk menciptakan bi’ah lughawiyah yang baik.
Demikian makalah ini penulis susun, dimana sebagian adalah merupakan teori yang terdapat pada buku-buku, terutama uraian yang ada pada latar belakang, dan sebagian lagi adalah hasil ijtihad penulis yang didasarkan pada pengalaman penulis selama mengajar. Oleh karena itu apabila di sana sini terdapat kekurangan dan kesalahan maka kritik dan saran sangat penulis harapkan. Makalah ini kiranya dapat dijadikan sebagai pengantar untuk merumuskan pola-pola pemanfaatan media dalam menciptakan bi’ah lughawiyah dengan lebih baik. Semoga.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina, Sosio Linguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta), 2004
Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta), 2003
Douglas, Brown H., The Principles of Language Teaching, Terj. oleh 'Abduh al-Rajihi dan 'Ali Ahmad Sya'ban, Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'lîmuha, (Beirut: Dar al-Nahdlah al-'Arabiyyah), 1994
Efendi, Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat), 2005
Effendy,Ahmad Fuad, "Pendekatan Komunikatif untuk Menciptakan Lingkungan Bahasa Arab (Bî'ah 'Arabiyyah) di Madrasah", Makalah disampaikan dalam Pelatihan Bahasa Arab Bagi Guru Bahasa Arab di Madrasah, Jakarta, Oktober 2004.
al-Fattâh, Nâzik Ibrâhim 'Abd, Musykilât al-Lughah wa al-Takhâthub fi Dlau' 'Ilm al-Lughah al-Nafsî, (Kairo: Dâr Quba'), 2002
al-Hajjâj, Abu al-Husain Muslim ibn, Mukhtashar Shahih al-Muslim, Tahqiq Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bâni, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi), 2000, Cet. I, hadits No. 1803.
Krashen, S.D., Formal and Informal Linguistc Environments in Language Acquisition and Language Learning, TESOL Quartely (10) June, 1976.
al Khuly, Muhammad Ali, Asalib Tadrisi al Lughah al ‘Arabiyah, (Riyadh: ), 1989
al-Khalifah, Hasan Ja'far, Fushû lfi Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd), 2003, Cet. II,
Manshûr, Abdul Majîd Sayyid Ahmad, Ilm al-Lughah al Nafsi, (Riyadh: Imâdat al-Syu’ûn al Maktabah Jâmi’at al-Malik Saud), 1982
Miarso, Yusufhadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Prenada), 2005
Nurhadi, dkk., Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, (Malang : Universitas Negeri Malang), 2004
Sadiman, Arif S. et.al, Media Pendidikan Pengertian Pengembangan dan pemanfaatannya, (Jakarta: Rajawali Press), 1986
al-Samirra'i, Ahmad ibn 'Abd al-Rahmân, Ajhijah al-'Ardh al-Hâithiyyah, dalam http://www. Tarbawi.com.
Wâfi, Abdul Wâhid, Al Lughah wa Al Mujtama’, (Kairo: Dar al-Nahdhat Mishr) 1971
Rabu, 22 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Assalamualaikum sir, Your writing really helped me, thank you.
Posting Komentar